MAQAMAT DAN AHWAL
A.
PENGERTIAN MAQAMAT
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini digunakan untuk arti sebagai
jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti
tangga.[1]
Menurut Ath-Thusi, Maqamat adalah kedudukan seorang hamba dalam
perjalanannya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-Mujahadat),
dan latihan-latihan rohaniah (ar-riyadhah).[2]
Adapun urutan-urutan maqamat adalah :
1.
Al-Taubah
Al-Taubah
dari bahasa arab : taba, yatubu, taubatan, yang artinya kembali.[3]
Maqamat
pada umumnya diawali dengan tobat (اَلتّوبَة).
Tobat yang dimaksudkan oleh sufi adalah
tobat yang sebenar-benarnya dan tidak akan membawa pada dosa lagi.[4] Alllah
SWT berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.”
Adapun
orang yang hanya bertobat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang
disinggung ayat ini. Meskipun dia bisa juga disebut Ta’ibun (orang yang
bertobat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertobat dengan
sebenar-benarnya ). Yang dimaksud tawwab adalah tobatnya orang-orang
yang khusus.
Perumpamaan
orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orng yang memotong
rumput, tapi hanya dibatangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabut dari
akarnya. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih beratdari
sebeumnya. Berbeda dengan orang yang bertoat dengan sungguh-sungguh dari dosa
akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya.
Maka dapat di pastikan ia tidak akan tumbuh lagi.[5]
Kedudukan
tobat adalah derajat yang pertama, yang pertengahan, juga sekaligus yang
terakhir. Derajat tersebut tidak pernah ditinggalkan seorang hamba yang
melakukan suluk, dan terus menyertai hingga ia mati. Allah berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur:
31)
Allah menggunakan ayat tersebut untuk brerfirman kepada
orang-orang beriman dan makhluk-makhluk-Nya yang terbaik agar mereka bertobat kepada-Nya, setelah mereka beriman
dan bersabar, serta berhijriah dan
berjihad.
Allah memberi kesan harapan, yang berarti bahwa jika kalian
bertobat, maka kalian mempunyai harapan untuk beruntung.. hanya orang-orang
yang bertobat saja yang mempunyai harapan untuk beruntung. Allah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan
barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat:
11).[6]
Untuk
mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang
tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang
ssufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang
sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam paham sufisme ialah lupapada
segala hal kecuali tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah,
dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Di
dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar
bertaubat. Diantaranya ayat yang berbunyi :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan
(juga)orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka.” (Qs. Ali-‘Imran, 3:135).[7]
Ø Syarat-syarat taubat
Pengaraang
kitab Manazilus saairiin berkata : “syarat-syarat tobat ada tiga :
menyesal, meninggalkan dosa, dan meminta
ampunan.[8]
2.
Al-Zuhud
Secara
harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian.
Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan
dunia dan hidup kematerian.[9]
Kebersihan dari
dosa tidak cukup hanya dengan tobat, melainkan juga dengan meninggalkan dunia
materi dan kebutuhan jasmani. Setelah brsih dari dosa, seorang zahid mulai
melihat tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan
tempat ketentraman jiwa.[10]
Zuhud
termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan
diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat
yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan
sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى
وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا
“katakanlah
kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan di akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiya sedikitpun (QS..
an-Nisa’, 4: 77).
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ
الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Dan tidaklah kehidupan di dunia
ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sunggh kampong akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
(QS. Al-An’am, 6: 32).
فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ
“padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) akhirat hanyalah sedikit. (QS.
At-Taubah, 9: 38).
ayat-ayat tersebut di atas memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia
yang sekejap ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi,
sunguh tidak sebanding. Kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia.
Allah lebih lanjut berfirman :
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”(QS. Al-a’la, 87: 17).
Orang yang
memiliki pandangan yang demikian tidak akan mau mengorbankan kebahagiaan
hidupnya di akhirat hanya karena mengejar duniawi yang sementara. Orang yang
demikian akhirnya akan terpelihara dari yang melakukan hal-hal yang negative.
Ia selalu berbuat yang baik-baik saja. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang
menyatakan :
اِذَا رَاَيْتُمُ
الرَّجُلَ فَقَدْ أُوْتِى زَهِدًا فِى الدُّنْيَا وَمُنْطِقًا فَاقَقْتَرَبُوْا
مِنْهُ فَاِنّهُ يُلَقِنُ الْحِكْمَةَ
“jika
kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifat zuhud dalam dirinya dan
selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karena orang itu yang telah
meyakini hikmah.”[11]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama
(terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi),
mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada
Allah semaata.[12]
3.
Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan terhadap
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi juga
sabar dalam menerima segala cobaan yang
ditimpakan Tuhan kepadanya.[13]
Secara harfiah,
sabr berarti tabah hati. Menurut Zun
Al-Nun al-mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak
Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup
walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Sedangkan
menurut Ibn Atha sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi segala cobaan
dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain juga mengatakan, sabar berarti
menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibn Usman
mengatakan sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu
yang kurang menyenangkan.
Dikalangan para sufi
sabar diartikan, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam
menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang
dirimpakannya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan.
Sabr dalam menjalani cobaan dan tidak mennunggu-menuggu datangnya pertolongan.
Sikap saar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an. Allah berfirnan:
فَاصْبِرْ
كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
“maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab)bagi mereka”
(QS. Al-ahqaf, 46:35)
وَاصْبِرْ
وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلا تَكُ فِي ضَيْقٍ
مِمَّا يَمْكُرُونَ
“bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka
dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”.
(QS.Al-nahl, 16:127)
Menurut ali bin abi thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman
sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad.[14]
Setiap orang harus bersabar menerima hal-hal yang tidak dia sukai,
baik dengan sengaja maupun terpaksa. Orang yang berakhlak mulia akan sengaja
bersabar karena dia mengetahui dampak baik kesabaran, juga mengetahui bahwa
sabar itu terpuji dan tidak sabar itu tercela.[15]
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutn nafsu dan amarah,
dinamakan oleh al-qhazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs) sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya
untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[16]
Apabila dorongan hafa nafsu seorang hamba untuk melakukan hal yang
diharamkan menguat dan mendominasi dirinya, sehingga dia tidak bisa
mengendalikan hasrat seks sualnya, bahkan tidak bisa menguasai hatinya,
sampai-sampai membicarakan hasrat itu dalam hati berulang-ulang dan terus
mendambakannya akibatnya dia terpalingkan dari hakikat berzikir dan hakikat
berfikir tentang hal yang bermanfaat baginya didunia dan akhiratnya. Jika dia
benar-benar berkeinginan kuat untuk bertobat dan melawan penyakit ini,
hendaklah dia melemahkan hawa nafsunya terlebih dahulu dengan beberapa cara
berikut ini:
Ø Hendaknya dia memperhatikan materi penguat syahwatnya. Sehingga,
dia mengetahui nutrisi apa yang menggerakkan syahwatnya, baik secara kualitas
maupun kuantitas agar dia dapat mengurangi makanan yang mengandung nutrisi
tersebut. Jika tidak mampu juga, hendaklah segera dia berpuasa karena puasa
dapat melemahkan syahwatnya dan menumpulkan ketajamannya.
Ø Hendaknya dia menghindari penggerak hasratnya, yaitu pandangan.
Diriwayatkan dalam almusnad bahwa nabi SAW bersabda : “pandangan adalah
salah satu panah beracun iblis”.
Ø Menghibur diri dengan suatu hal yang mubah yang bisa memalingkannya
dari hal yang haram.
Ø Hendaknya dia merenungkan kerusakan dunia yang diakibatkan oleh
keinginannya memenuhi hasrat biologisnya.
Ø Hendaknya dia mengetahui betapa buruknya kegemaran hawa nafsu.[17]
4.
Kefakiran (al-faqr)
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang berhajad, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[18]
B.
Al-ahwal
1.
Muraqabah
Nabi
SAW bersabda, “beribadahlah kepada allah seakan-akan engkau milihatnya,dan
jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya dia melihatmu.”(H.R. Muslim)
Adapun
yang dimaksud dengan muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan
keyakinannya bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang ada dalam hati nuraninya
dan maha mengetahui.
Orang-orang
yang muraqabah dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
Ø Orang yang selalu menjaga hatinya sebab allah selalu melihat hati
nuraninya. Tingkatan ini adalah tingkatan kondisi spiritual para pemula dalam
muraqabah.
Ø Orang-orang yang selalu muraqabah kepada al-haq dalam kefanaan
apapun dan mengikuti Nabi pilihan SAW dalam segala perbuatan, akhlak, dan adab
beliau.
Ø Tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah
SWT dan memohan kepada-Nya agar dia senantiasa memelihara mereka untuk selalu
bisa bermuraqabah.
2.
Qurbah (kedekatan)
Kondisi
spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata
hatinya akan kedekatan Allah SWT dengannya sehingga dia akan melakukan
pendekatan diri kepada-Nya dengan seluruh ketaatan dan perhatiannya yang selalu
terpusatkan dihadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisi,
baik secara lahiriah maupun rahasia hati.
3.
Mahabbah (cinta)
Mahabbah
adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat ang Allah karuniakan
kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya,
segala perlindungannya, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Orang
yang memiliki kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
Ø Mahabbah orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan
kasih sayang Allah SWT kepada mereka.
Ø Mahabbah yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan
dan kebesaran Allah, ilmu dan kekuasaan-Nya. Dia maha kaya yang tidak
membutuhkan apapun. Yang kedua ini adalah cintanya orang-orang jujur
(ash-shadiqin) dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang
hakiki (al-muhaqqin).
Ø Mahabbah orang-orang yang benar-benar jujur (ash-shiddiqin) dan
orang-orang arif (al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan
mengetahui cinta allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Demikian pula,
mereka harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun.
4.
Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi
kalangan sufi raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’
dapat berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan
senang karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ menuntut 3
perkara, yaitu:
Ø Cinta pada apa yang diharapkannya.
Ø Takut harapannya itu hilang.
Ø Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau
hayalan.
Khauf
merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju
ilmu dan amal, supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan allah. Khauf
adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan
menimpa diri dimasa yang akan datang.
5.
Syauq (kerinduan)
Dalam
lubuk jiwa, rasa rindu ingin segera bertemu dengan tuhan. Ada orang yang
mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih
berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kapada Tuhan, mati dapat
berarti bertemu dengan Tuhan, sedangkan hidup meerintangi pertemuan ‘abid dengan
ma’bud-nya.
6.
Uns (suka cita)
Uns adalah
sifat merasa selalu berteman dan tak
pernah merasa sepi. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya. Ungkapan
ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan tuhannya.
7.
Thuma’minah
Thuma’minah
adalah merasa tentram setelah bersama dengan tuhannya, kemudian merasakan
ketergantungan terus menerus dengan-Nya.
8.
Musyahadah
Musyahadah
adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi dengan ilmu yakin dan
hakikat-hakikatnya.
9.
Yaqin (keyakinan sejati)
Keyakinan
sejati dibedakan menjadi 3 macam:
Ø Mukasyafah ayan (tersikapya tutup mata) sehingga dihari kiamat
nanti, ia melihat dengan mata kepala.
Ø Mukasyafatul qulub (tersikapnya tutup hati) untuk memahami
hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa
dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
Ø Mukasyafatul ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesarannya) dengan
ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para nabi drngan mukjizat dan untuk
selain para nabi dengan karomah (kemuliaan) dan dikabulkannya doa.[19]
[1] . Abuddin
Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2002. Hlm. 193.
[2]. Abuddin Nata. Akhlak tasawuf. Jakarta:rajagrafindo
persada. 1996. Hlm. 75
[3] . Abuddin
Nata. Op. cit., hlm. 197.
[4]. Abuddin Nata.
Op.cit., hlm. 78
[5] . Abdul Qadir
Al-Jailaini. Sirrul-Asrar. Terj. Zeen ZA Bazul Asyhab. Tangerang Selatan
: CV salima publika.2013. hlm. 82-83.
[6] . Ibnul Qayyim
al-Jauziyah. At-Taubah wal inabah. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani.
Jakarta : Gema Insani Press. 2006. Hlm.
33-34.
[7] . Abuddin Nata.
Op. cit.,hlm. 198-199.
[8]. Ibnul Qayyim
al-Jauziyah. Op. cit., hlm. 39
[9] . Ibid.,
hlm. 194-195
[10] . Abuddin Nata.
Op.cit., Hml. 79
[11] . Abuddin Nata.
Op. cit., hlm. 195-197
[12]. Abuddin Nata. Akhlak tasawuf. Jakarta:rajagrafindo
persada. 1996. Hlm. 79
[14]. Abbuddin Nata, op. cit.,hlm. 200-202
[15] .
Al-jauziyyah.bekal
untuk orang-orang yang sabar. Ter. Iman firdaus. Jakarta: Qisthi pers.
2010. Hlm.76
[16] . Abuddin Nata.
Loc. Cit., Hlm. 79
[17] . Al-jauziyyah.
Op.cit., hlm. 80-81
[18]. Abudin nata. Op.cit., hlm. 200
No comments:
Post a Comment