Tuesday, June 9, 2015

MAQAMAT DAN AHWAL



MAQAMAT DAN AHWAL

A.    PENGERTIAN MAQAMAT
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.[1]
Menurut Ath-Thusi, Maqamat adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (al-Mujahadat), dan latihan-latihan rohaniah (ar-riyadhah).[2]
Adapun  urutan-urutan  maqamat adalah :
1.      Al-Taubah
Al-Taubah dari bahasa arab : taba, yatubu, taubatan, yang artinya kembali.[3]
Maqamat pada umumnya diawali dengan tobat (اَلتّوبَة). Tobat yang dimaksudkan  oleh sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya dan tidak akan membawa pada dosa lagi.[4] Alllah SWT berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Adapun orang yang hanya bertobat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung ayat ini. Meskipun dia bisa juga disebut Ta’ibun (orang yang bertobat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertobat dengan sebenar-benarnya ). Yang dimaksud tawwab adalah tobatnya orang-orang yang khusus.
Perumpamaan orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orng yang memotong rumput, tapi hanya dibatangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabut dari akarnya. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih beratdari sebeumnya. Berbeda dengan orang yang bertoat dengan sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya. Maka dapat di pastikan ia tidak akan tumbuh lagi.[5]
Kedudukan tobat adalah derajat yang pertama, yang pertengahan, juga sekaligus yang terakhir. Derajat tersebut tidak pernah ditinggalkan seorang hamba yang melakukan suluk, dan terus menyertai hingga ia mati. Allah berfirman :


وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)
Allah menggunakan ayat tersebut untuk brerfirman kepada orang-orang beriman dan makhluk-makhluk-Nya yang terbaik agar mereka  bertobat kepada-Nya, setelah mereka beriman dan bersabar,  serta berhijriah dan berjihad.
Allah memberi kesan harapan, yang berarti bahwa jika kalian bertobat, maka kalian mempunyai harapan untuk beruntung.. hanya orang-orang yang bertobat saja yang mempunyai harapan untuk beruntung. Allah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat: 11).[6]
Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang ssufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam paham sufisme ialah lupapada segala hal kecuali tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Diantaranya ayat yang berbunyi :
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ  
Dan (juga)orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Qs. Ali-‘Imran, 3:135).[7]

Ø  Syarat-syarat taubat
Pengaraang kitab Manazilus saairiin berkata : “syarat-syarat tobat ada tiga : menyesal,  meninggalkan dosa, dan meminta ampunan.[8]
  


2.      Al-Zuhud
Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[9]
Kebersihan dari dosa tidak cukup hanya dengan tobat, melainkan juga dengan meninggalkan dunia materi dan kebutuhan jasmani. Setelah brsih dari dosa, seorang zahid mulai melihat tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan tempat ketentraman jiwa.[10]
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat  yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا
“katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiya sedikitpun  (QS.. an-Nisa’, 4:  77).
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Dan tidaklah kehidupan di dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sunggh kampong akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An’am, 6:  32).
فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ
“padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit. (QS. At-Taubah, 9: 38).
ayat-ayat tersebut di atas memberi petunjuk bahwa kehidupan dunia yang sekejap ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi, sunguh tidak sebanding. Kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia. Allah lebih lanjut berfirman :
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”(QS. Al-a’la, 87: 17).
            Orang yang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mau mengorbankan kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya karena mengejar duniawi yang sementara. Orang yang demikian akhirnya akan terpelihara dari yang melakukan hal-hal yang negative. Ia selalu berbuat yang baik-baik saja. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang menyatakan :
اِذَا رَاَيْتُمُ الرَّجُلَ فَقَدْ أُوْتِى زَهِدًا فِى الدُّنْيَا وَمُنْطِقًا فَاقَقْتَرَبُوْا مِنْهُ فَاِنّهُ يُلَقِنُ الْحِكْمَةَ
            jika kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifat zuhud dalam dirinya dan selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karena orang itu yang telah meyakini hikmah.”[11]
           
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semaata.[12]

3.      Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi juga sabar  dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya.[13]
            Secara harfiah, sabr berarti tabah  hati. Menurut Zun Al-Nun al-mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari  hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Sedangkan menurut Ibn Atha sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi segala cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain juga mengatakan, sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibn Usman mengatakan sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
            Dikalangan para sufi sabar diartikan, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang dirimpakannya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabr dalam menjalani cobaan dan tidak mennunggu-menuggu datangnya pertolongan. Sikap saar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an. Allah berfirnan:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab)bagi mereka” (QS. Al-ahqaf, 46:35)
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
“bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”. (QS.Al-nahl, 16:127)
Menurut ali bin abi thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad.[14]


Setiap orang harus bersabar menerima hal-hal yang tidak dia sukai, baik dengan sengaja maupun terpaksa. Orang yang berakhlak mulia akan sengaja bersabar karena dia mengetahui dampak baik kesabaran, juga mengetahui bahwa sabar itu terpuji dan tidak sabar itu tercela.[15]
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutn nafsu dan amarah, dinamakan oleh al-qhazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs) sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[16]
Apabila dorongan hafa nafsu seorang hamba untuk melakukan hal yang diharamkan menguat dan mendominasi dirinya, sehingga dia tidak bisa mengendalikan hasrat seks sualnya, bahkan tidak bisa menguasai hatinya, sampai-sampai membicarakan hasrat itu dalam hati berulang-ulang dan terus mendambakannya akibatnya dia terpalingkan dari hakikat berzikir dan hakikat berfikir tentang hal yang bermanfaat baginya didunia dan akhiratnya. Jika dia benar-benar berkeinginan kuat untuk bertobat dan melawan penyakit ini, hendaklah dia melemahkan hawa nafsunya terlebih dahulu dengan beberapa cara berikut ini:
Ø  Hendaknya dia memperhatikan materi penguat syahwatnya. Sehingga, dia mengetahui nutrisi apa yang menggerakkan syahwatnya, baik secara kualitas maupun kuantitas agar dia dapat mengurangi makanan yang mengandung nutrisi tersebut. Jika tidak mampu juga, hendaklah segera dia berpuasa karena puasa dapat melemahkan syahwatnya dan menumpulkan ketajamannya.
Ø  Hendaknya dia menghindari penggerak hasratnya, yaitu pandangan. Diriwayatkan dalam almusnad bahwa nabi SAW bersabda : “pandangan adalah salah satu panah beracun iblis”.
Ø  Menghibur diri dengan suatu hal yang mubah yang bisa memalingkannya dari hal yang haram.
Ø  Hendaknya dia merenungkan kerusakan dunia yang diakibatkan oleh keinginannya memenuhi hasrat biologisnya.
Ø  Hendaknya dia mengetahui betapa buruknya kegemaran hawa nafsu.[17]

4.      Kefakiran (al-faqr)
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang berhajad, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[18]

B.     Al-ahwal
1.      Muraqabah
Nabi SAW bersabda, “beribadahlah kepada allah seakan-akan engkau milihatnya,dan jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya dia melihatmu.”(H.R. Muslim)
Adapun yang dimaksud dengan muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang ada dalam hati nuraninya dan maha mengetahui.
Orang-orang yang muraqabah dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
Ø  Orang yang selalu menjaga hatinya sebab allah selalu melihat hati nuraninya. Tingkatan ini adalah tingkatan kondisi spiritual para pemula dalam muraqabah.
Ø  Orang-orang yang selalu muraqabah kepada al-haq dalam kefanaan apapun dan mengikuti Nabi pilihan SAW dalam segala perbuatan, akhlak, dan adab beliau.
Ø  Tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah SWT dan memohan kepada-Nya agar dia senantiasa memelihara mereka untuk selalu bisa bermuraqabah.

2.      Qurbah (kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah SWT dengannya sehingga dia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan seluruh ketaatan dan perhatiannya yang selalu terpusatkan dihadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisi, baik secara lahiriah maupun rahasia hati.

3.      Mahabbah (cinta)
Mahabbah adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat ang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungannya, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
Ø  Mahabbah orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah SWT kepada mereka.
Ø  Mahabbah yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan dan kebesaran Allah, ilmu dan kekuasaan-Nya. Dia maha kaya yang tidak membutuhkan apapun. Yang kedua ini adalah cintanya orang-orang jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqin).
Ø  Mahabbah orang-orang yang benar-benar jujur (ash-shiddiqin) dan orang-orang arif (al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui cinta allah yang tanpa sebab dan alasan apapun. Demikian pula, mereka harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apapun.

4.      Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)

Bagi kalangan sufi raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan senang karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi. Raja’ menuntut 3 perkara, yaitu:
Ø  Cinta pada apa yang diharapkannya.
Ø  Takut harapannya itu hilang.
Ø  Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan.
Khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya mereka dapat dekat dengan allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri dimasa yang akan datang.

5.      Syauq (kerinduan)
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu ingin segera bertemu dengan tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya  daripada maut. Bagi  sufi yang rindu kapada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sedangkan hidup meerintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bud-nya.



6.         Uns (suka cita)
Uns adalah sifat  merasa selalu berteman dan tak pernah merasa sepi. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya. Ungkapan ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan tuhannya.

7.         Thuma’minah
Thuma’minah adalah merasa tentram setelah bersama dengan tuhannya, kemudian merasakan ketergantungan terus menerus dengan-Nya.

8.         Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.

9.         Yaqin (keyakinan sejati)
Keyakinan sejati dibedakan menjadi 3 macam:
Ø Mukasyafah ayan (tersikapya tutup mata) sehingga dihari kiamat nanti, ia melihat dengan mata kepala.
Ø  Mukasyafatul qulub (tersikapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
Ø  Mukasyafatul ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesarannya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para nabi drngan mukjizat dan untuk selain para nabi dengan karomah (kemuliaan) dan dikabulkannya doa.[19]


[1] . Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2002. Hlm. 193.
[2].  Abuddin Nata. Akhlak tasawuf. Jakarta:rajagrafindo persada. 1996. Hlm. 75
[3] . Abuddin Nata. Op. cit., hlm. 197.
[4]. Abuddin Nata. Op.cit., hlm. 78
[5] . Abdul Qadir Al-Jailaini. Sirrul-Asrar. Terj. Zeen ZA Bazul Asyhab. Tangerang Selatan : CV salima publika.2013. hlm. 82-83.
[6] . Ibnul Qayyim al-Jauziyah. At-Taubah wal inabah. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta : Gema Insani Press.   2006. Hlm. 33-34.
[7] . Abuddin Nata. Op. cit.,hlm. 198-199.
[8]. Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Op. cit., hlm. 39
[9] .  Ibid.,  hlm. 194-195
[10] . Abuddin Nata. Op.cit., Hml. 79
[11] . Abuddin Nata. Op. cit., hlm. 195-197
[12].  Abuddin Nata. Akhlak tasawuf. Jakarta:rajagrafindo persada. 1996. Hlm. 79
[13].  Ibid, hlm. 79
[14].  Abbuddin Nata, op. cit.,hlm. 200-202
[15] . Al-jauziyyah.bekal untuk orang-orang yang sabar. Ter. Iman firdaus. Jakarta: Qisthi pers. 2010. Hlm.76
[16] . Abuddin Nata. Loc. Cit., Hlm. 79
[17] . Al-jauziyyah. Op.cit., hlm. 80-81
[18].  Abudin nata. Op.cit., hlm. 200
[19].  Ibid. hlm. 85-90

No comments:

Post a Comment