BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN
TEORI IKATAN VALENSI
Teori ikatan valensi
merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa awal penelitian
ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London pada tahun
1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori ini
kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga
dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the
Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan
valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang
lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya, sebagai berikut:
1) Ikatan valensi
terjadi karena adanya gaya tarik pada elektron-elektron yang tidak berpasangan
pada atom-atom.
2) Elektron - elektron
yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan.
3) Elektron-elektron
yang telah berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan
elektron-elektron yang lain.
4) Kombinasi elektron
dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang untuk setiap
atomnya.
5) Elektron-elektron
yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan
ikatan-ikatan yang paling kuat.
6) Pada dua orbital dari
sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang
akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang
terkonsentrasi itu.
Keenam
postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap
pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi
gelombang elektron pada masing-masing orbital yang berikatan.
Dalam teori ikatan valensi, yang menjadi titik
tekannya yaitu fungsi gelombang elektron-elektron yang berpasangan dibentuk
dari tumpang tindih fungsi gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom
yang berkontribusi dan saling terpisah.
Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:
Ψ=χA(1)χB(2)...
Ψ=χA(2)χB(1)...
keterangan:
Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:
Ψ=χA(1)χB(2)...
Ψ=χA(2)χB(1)...
keterangan:
χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom
A dan B. Sementara angka 1 dan 2 merepresentasikan elektron yang berikatan
dengan proton pada masing-masing atom A dan B.
Ketika
kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, kita tidak dapat mengetahui
apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau
justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua
fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan
ini disatukan dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang lebih baik
adalah kombinasi linear dari keduanya.
Ψ=χA(1)χB(2)+χA(2)χB(1)...
Fungsi di atas
merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini berinterferensi
konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang
dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan prinsip Pauli
yang menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin berpasangan yang
dapat dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari penjabaran di atas,
dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk
oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital atom-atom yang
berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan sigma (б).
Berikut merupakan contoh formasi
ikatan sigma dari orbital s dan p yang saling tumpang tindih:
2.2
Struktur Senyawa Koordinasi atau Senyawa Kompleks
Berdasarkan teori ini senyawa
koordinasi dibentuk dari reaksi antara asam Lewis (atom atau ion pusat) dengan
basa Lewis (ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi antara keduanya. Di dalam
senyawa koordinasi atau senyawa kompleks atom atau ion pusat memiliki bilangan
koordinasi tertentu. Geometri senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2,
3, 4 dan 6 diberikan pada table di bawah ini
BK
|
Sruktur
|
Contoh
|
2
|
Linear
|
[Ag(NH3)2]+, [Ag(CN)2]-
|
3
|
Segitiga
datar
|
[HgCl3]-,
[AgBr(PPh3)2]
|
4
|
Tetrahedral
|
[NiCl4]2-, [Zn(NH3)4]2+
|
4
|
Bujur
sangkar
|
[Ni(CN)4]2-,
[Pt(CN)4]2-
|
5
|
Trigonal Bipiramidal
|
[CuCl5]3-, [Fe(CO)5]
|
6
|
Oktahedral
|
[CoF6]3-,
[Fe(CN)6]3-
|
Tabel.1
Struktur senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2-6.
Berdasarkan
teori ikatan valensi, struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks
berhubungan erat dengan susunan dalam ruang dari orbital-orbital atom pusat
yang digunakan dalam pembentukan ikatan. Untuk ion [Ag(CN)2]-
misalnya, atom pusat ion tersebut adalah Ag+ dengan konfigurasi
electron Ag+ : [Kr] 4d10 5s0 5p0.
Pada pembentukan ion [Ag(CN)2]- dua ligan CN-
mendonorkan dua PEB. Dua PEB tersebut menempati dua orbital kosong pada ion Ag+.
Apabila dua PEB tersebut menempati orbital 5s dan salah satu orbital 5p dari
ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan memiliki panjang ikatan
berbeda, ikatan yang menggunakan orbital 5s akan lebih pendek dibandingkan
ikatan yang menggunakan orbital 5p. apabila dua PEB tersebut menempati dua dari
tiga orbital 5p pada ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan
memiliki panjang yang sama dan sudut ikatan C-Ag-C sekitar 900,
sehingga bentuk [Ag(CN)2]- yang diperoleh adalah V seperti
ditunjukan pada gambar 1
Dimana
:
a. Tiga
orbital 5p pada ion Ag+
b. Ion
[Ag(CN)2]- dengan huruf V bila p.ada pembentukannya
menggunakan dua dari tiga orbital 5p yang ada pada ion Ag+.
c.
Ion [Ag(Cc. [NC2]-
berbentuk linear berdasarkan hasil eksperimen.
Fakta
eksperimen menunjukan bahwa dua ikatan Ag-C yang terdapat pada ion [Ag(CN)2]-
adalah sama panjang, yaitu 213pm, dan sudut ikatan C-Ag-C sebesar 1800.
( a)
|
Huruf V
(b)
|
Linear
(c)
|
Hal
ini menunjukan bahwa pada pembentukan ikatan antara ion Ag+ dengan
ligan CN-, ion Ag+ tidak menggunakan orbital 5s dan salah
satu dari tiga orbital 5p, atau dua dari tiga orbital 5p yang ada, melainkan
menggunakan dua orbital yang sama jenis dan tingkat energinya dan posisinya berlawanan arah.
Contoh
lain adalah [NiCl4]2- dengan atom pusat Ni2-
dan konfigirasi elektron Ni2+: [Ar] 3d8 4s0 4p0.
Pada pembentukan kompleks ini, empat ligan Cl- mendonorkan empat PEB
menempati orbital 4s dan tiga PEB lainnya menempati orbital 4p pada ion Ni2+,
maka tiga ikatan Ni-Cl akan sama panjang dan satu ikatan Ni-Cl yang lain akan
lebih pendek. Fakta eksperimen menunjukan bahwa kompleksini berbentuk
tetrahedral dengan empat ikatan Ni-Cl yang ada sama panjang, yaitu 227 pm. Hal
ini menunjukan bahwa pad pembentukan ikatan antara ion Ni2+ Dengan
empat ligan Cl-, ion Ni2+ tidak menggunakan orbital 4s
dan tiga orbital 4p yang ada, melainkan menggunakan empat orbital yang sama
jenis dan tingkat energinya dan posisinya mengarah pada pojok-pojok
tetrahedral.
Pada
pembentukan ikatan-ikatannya, atom pusat tidak menggunakan orbital s, p dan d,
melainkan menggunakan orbital-orbital yang sama jenisnya dengan tingkat energi
yang sama pula. Orbital-orbital ini disebut orbital-orbital hibrida (hybrid orbitals) yang diperoleh malalui
proses hibridisasi (hybridization).
Hibridisasi adalah proses pembentukan orbital-orbital hibrida dengan tingkat
energi yang sama melalui kombinasi linear dari orbital-orbital atom yang
berbeda dengan dengan tingkat energi yang berbeda pula. Orbital-orbital yang
menglami hibridisasi tersebut adalah milik dari atom pusat. Gambar
orbital-orbital hibrida adalah seperti pada gambar 2(a), akan tetapi dalam
penggambarannya sering kali cuping (lobe)
yang ukurannya lebih kecil (sebelah kiri) tidak digambarkan. Disamping itu,
tanda fungsi gelombangnya (tanda + dan -) juga jarang diberikan seperti
ditunjukan pada gambar 2(d).
Orbital hibrida yang
terbentuk dari proses hibridisasi adalah sama dengan jumlah orbital-orbital
atom yang terlibat dalam hibridisasi. Jenis hibridisasi, orbital-orbital atom
yang terlibat dalam hibridisasi, jumlah dan jenis orbital-orbital hibrida yang
terbentuk serta susunannya dalam ruang diberikan pada tabel 2.
Tabel
2 Jenis
hibridisasi,
orbital-orbital atom yang terlibat, jenis orbital yang terbentuk serta
susunannya dalam ruang:
Hibridisasi
|
Orbital atom yang terlibat
|
Jumlah dan jenis orbital anng
terbentuk
|
Susunan dalam ruang
|
Sp
|
1 orbital s dan 1 orbital p (pz)
|
2 orbital hibrida sp
|
Berlawanan arah
|
sp2
|
1 orbital s dan 2 orbital p (px,py)
|
3 orbital hibrida sp2
|
Mengarah pada pojok-pojok segitiga sama sisi
|
Sp3
|
1 orbital s dan 3 orbital p (px,
py, pz)
|
4 orbital hibrida sp3
|
Mengarah pada pojok-pojok tetrahedral
|
dsp2
|
1 orbital d (dx2-y2), 1
orbital s dan 2 orbital p (px, py)
|
4 orbital hibrida dsp2
|
Mengarah pada pojok-pojok bujursangkar
|
dsp3 atau sp3d
|
1 orbital d (dz2),
1 orbital s dan 3 orbital p (px, py, pz)
|
5 orbital hibrida dsp3
atau sp3d
|
Mengarah pada pojok-pojok trigonal
bipiramidal
|
d2sp3 atau
sp3d2
|
2 orbital d (dx2-y2 dan dz2),
1 orbital s dan 3 orbital p (px, py, pz)
|
6 orbital hibrida d2sp3 atau sp3d2
|
Mengarah pada pojok-pojok oktahedral
|
Tingkat
energi orbital-orbital hibrida adalah
diantara tingkat energi orbital-orbital yang terlibat dalam hibridisasi.
Untuk hibridisasi sp3, perbandigan tingkat energi orbital sp3
dan tingkat energi orbital s dan 3 orbital p ditunjukan pada gambar.
Tingkat
energi orbital-orbital hiibrida sp3 lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat energi orbital p, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan tingat energi
orbital s. disamping itu, tingkat energi orbital-orbital hibrida sp3
adalah lebih dekat ke tingkat energi orbital p dibandingkan ke tingkat energi
orbital s karena jumlah orbital p yang terlibat dalam hibridisasi lebih bannyak
dibandingkan orbital s.
Hubungan
antara bilangan koordinasi atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur kompleks
diberikan pada tabel 3.
Tabel
3 bilangan koordinasi (BK) atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur kompleks
BK
|
Hibridasasi
|
Struktur kompleks
|
Contoh
|
2
|
Sp,
|
Linear
|
[Ag(CN)2]-
|
3
|
sp2
|
Trigonal planar
|
[HgCl3]-
|
4
|
sp3
|
Tetrahedral
|
[NiCl4]2-
|
4
|
dsp2
|
Bujur sangkar
|
[Ni(CN)4]2-
|
5
|
sp3d
|
Trigonal bipiramidal
|
[CuCl5]3-
|
5
|
dsp3
|
Trigonal bipiramidal
|
[Fe(CO)5]
|
6
|
sp3d2
|
Octahedral
|
[CoF6]3-
|
6
|
d2sp3
|
Octahedral
|
[Co(CN)6]3-
|
Dalam pengisian electron pada
orbital hibrida, orbital dan orbital hibrida dapat dilambangkan dengan kotak,
lingkaran atau garis mendatar, sedangkan electron dilambangkan dengan tanda
anak panah naik ke atas ( ) apabila
memiliki spin + ½ , dan tandah anak panah ke bawah ( ) memiliki spin -1/2.
2.3
Pembentukan Senyawa Kompleks
Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan teori ikatan
valensi ada yang tidak melibatkan proses eksitasi dan ada yang melibatkan proses eksitasi.
Ø Pembentukan Senyawa
Kompleks
Tanpa
Melibatkan
Proses
Eksitasi.
Pembentukan senyawa kompleks tanpa melibatkan proses
eksitasi, langkah-langkah yang diperlukan adalah :
1. Menuliskan
konfigurasi elektron dari atom pusat pada keadaan dasar.
2. Menuliskan
konfigurasai elektron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi
3. Menuliskan konfigurasai elektron dari atom
pusat sesudah adanya donasi pasangan-pasangan elektron bebas dari ligan-ligan.
Contoh pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi 2-6
tanpa melibatkan proses eksitasi.
Contoh 1 : [Ag(CN)2]-
Berdasarkan
asas energetika, tingkat energi dari kompleks [Ag(CN)2]-
adalah paling rendah apabila tolakan antara dua ligan CN- minimal.
Hal ini terjadi apabila dua ligan CN- posisinya berlawanan, sehingga
kompleks [Ag(CN)2]- memiliki struktur linear. Fakta
eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, ion [Ag(CN)2]-
bersifat diamagnetik. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan
hibridisasi sp.
Konfigurasi
elektron :
Ion
Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]
4d
5s 5p
Ion Ag+ (hibridisasi) :
[Kr]
Hibridisasi
sp
Ion
Ag+ dalam [Ag(CN)2]- : [Kr]
2 PEB
dari 2 ligan CN-
Sifat diamagnetik dari kompleks [Ag(CN)2]-
ditunjukan dengan berpasangnys semua electron
yang terdapat pada atom pusatnya.
Contoh 2 : [AgBr(PPh3)2]
Berdasarkan
asas energetika, tingkat energi dari kompleks [AgBr(PPh3)2]
adalah paling rendah apabila tolakan antara dua ligan PPh3 dan
sebuah ligan Br-. Hal ini terjadi apabila tiga ligan tersebut
posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok trigonal planar,
sehingga kompleks [AgBr(PPh3)2] memiliki struktur
trigonal planar. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu,
kompleks [AgBr(PPh3)2] bersifat diamagnetic. Oleh karena
itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp2.
Konfigurasi
elektron :
Ion Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]
4d 5s 5p
Ion Ag+ (hibridisasi) :
[Kr]
Hibridisasi
sp2
Ion
Ag+ dalam [AgBr(PPh3)2] : [Kr]
3 PEB dari 1 ligan Br-
dan 2 ligan PPh3
Sifat
diamagnetik
dari [AgBr(PPh3)2] ditunjukan dengan telah berpasangannya
semua elektron yang terdapat pada atom pusatnyanya.
Contoh 3 : [NiCl4]2-
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [NiCl4]2-
adalah paling rendah apabila tolakan antara empat ligan Cl- minimal.
Hal ini terjadi apabila empat ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu
terletak pada pojok-pojok tetrahedral, sehingga kompleks [NiCl4]2-
adalah bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya dua
electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini
melibatkan hibridisasi sp3.
Konfigurasi
elektron :
Ion Ni2+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Ni2+ (hibridisasi) :
[Ar]
Hibridisasi sp3
Ion
Ni2+ dalam [NiCl4]2- : [Ar]
4
PEB dari 4 ligan Cl-
Sifat
paramagnetik dari ion [NiCl4]2- ditunjukan dengan adanya
2 elektron yang tidak berpasangan pada
orbital 3d atom pusat
Contoh 4 : [CuCl5]3-
Berdasarkan
asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CuCl5]3- adalah paling rendah apabila
tolakan antara lima ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila lima
ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok
trigonal bipiramidal, sehingga kompleks [CuCl5]3- adalah meimiliki strruktur
trigonal bipiramidal. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu,
ion [CuCl5]3- bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya
setara dengan adanya sebuah electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu
pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d.
Konfigurasi
electron :
Ion Cu2+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Cu2+ (hibridisasi) :
[Ar]
Hibridisasi
sp3
Ion
Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]
5 PEB dari
5 ligan Cl-
Sifat paramagnetik dari ion
[CuCl5]3- ditunjukan dengan adanya sebuah elektron yang
tidak berpasangan pada orbital 3d atom
pusatnya.
Contoh
5 : [FeCl6]3-
Berdasarkan asas energetika, tingkat
energi dari kompleks [FeCl6]3- adalah paling rendah apabila tolakan antara enam ligan Cl-
minimal. Hal ini terjadi apabila enam ligan tersebut posisinya sejauh mungkin,
yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen membuktikan hal
tersebut,sehingga kompleks [FeCl6]3- memiliki struktur
octahedral. Disamping itu, ion [FeCl6]3- bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya
setara dengan adanya lima electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu
pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d2.
Konfigurasi
elektron :
Ion Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p 4d
Ion Fe3+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi
sp3d2
Ion
Fe3+ dalam [FeCl6]3-
: [Ar]
6
PEB dari 6 ligan Cl-
Sifat
paramagnetic dari ion [FeCl6]3- ditunjukan dengan adanya lima electron yang
tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya
Contoh 6 : [CoF6]3-
Berdasarkan
asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CoF6]3-
adalah paling rendah apabila tolakan
antara enam ligan F- minimal. Hal ini terjadi apabila enam ligan
tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral.
Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut,sehingga kompleks [CoF6]3-
memiliki struktur octahedral. Disamping itu, ion [CoF6]3- bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya
setara dengan adanya empat electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu
pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d2.
Konfigurasi
elektron :
Ion Co3+ (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p 4d
Ion Co3+ (hibridisasi) :
[Ar]
Hibridisasi
sp3d2
Ion
Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]
6
PEB dari 6 ligan Cl-
Sifat paramagnetic dari ion [CuCl5]3- ditunjukan dengan adanya empat electron yang
tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
Berdasarkan contoh-contoh 1-6 dapat
disimpulkan bahwa pada pembentukan kompleks yang tidak melibatkan proses
eksitasi dihasilkan kompleks yang selalu bersifat paramagnetic atau
diamagnetic. Suatu kompleks selalu bersifat paramagnetic apabila atom pusatnya
memiliki elektron dengan jumlah ganjil.
Ø Pembentukan
Senyawa
Kompleks
Dengan
Melibatkan
Proses
Eksitasi
Dalam menjelaskan pembentukan senyawa kompleks atau kompleks
yang melibatkan proses eksitasi. Langkah-langkah yang
diperlukan adalah :
1. Menuliskan
konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan dasar;
2. Menuliskan
konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan eksitasi;
3. Menuliskan
konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi;
4. Menuliskan
konfigurasi electron dari atom pusat sesudah adanya donasi pasangan-pasangan
electron bebas (PEB) dari ligan-ligan.
Berikut diberikan beberapa contoh
pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi empat dan enam yang melibatkan
proses eksitasi
Contoh
7 : ion [Ni(CN)4]2-
Berdasarkan
asas energetika tolakan antara empat ligan CN- adalah minimal
apabila empat ligan tersebut terletak pada pojok-pojok tetrahedral. Fakta
eksperimen menunjukan bahwa ion [Ni(CN)4]2- memiliki
struktur bujur sangkar, bukannya tetrahedral. Hal ini disebabkan oleh adanya
penstabilan kompleks akibat terbentuknya ikatan balik (back bonding) yang akan diuraikan pada subbab 6.6 dihalaman 120.
Fakta eksperimen lainnya adalah ion [Ni(CN)4] bersifat diamagnetic.
Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi dsp2.
Konfigurasi elektron :
Ion Ni2- (keadaan dasar) : [Ar]
3d 4s 4p
Ion Ni2- (eksitasi) :
[Ar]
Ion
Ni2- (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi
dsp2
Ion
Ni2- dalam [Ni(CN)4]2- : [Ar]
4
PEB dari 4 ligan CN-
Sifat diamagnetik ion [Ni(CN)4]2-
ditunjukan dengan berpasangannya semua elektron yang ada.




Contoh 8 : [Fe(NH3)6]3+
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks
[Fe(NH3)6]3+ adalah
Paling rendah apabila tolakan antara
empat ligan NH3 adalah minimal apabila empat ligan tersebut terletak
pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen menunjukan bahwa ion [Fe(NH3)6]3+ memiliki struktur octahedral. Fakta eksperimen
menunujukan hal tersebut. Disamping itu, ion [Fe(NH3)6]3+ bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya
setara dengan adanya sebuah electron yang tidak berpasangan.Hal ini menunjukan
bahwa pada pembentukan kompleks tersebut terjadi eksitasi electron. Oleh karena
itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi d2sp3.
Konfigurasi elektron : 3d 4s 4p
Ion
Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
Ion
Fe3+ (eksitasi) : [Ar]
Ion
Fe3+ (hibridisasi) : [Ar]
Hibridisasi
d2sp3
Ion
Fe3+ dalam [Fe(NH3)6]3+ : [Ar]
6
PEB dari 6 ligan NH3
Sifat
paramagnetik ion [Fe(NH3)6]3+ ditunjukan
dengan adanya sebuah elektron yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom
pusatnya.
2.4
Prinsip
Keelektronetralan Dan Ikatan Balik.
Berdasarkan teori ikatan
valensi, pada pembentukan kompleks terjadi donasi pasangan electron dari ligan-
ligan ke atom pusat. Ditinjau dari konsep muatan formal, donasi tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penimbunan muatan negative pada atom pusat yang dapat
mengakibatkan kompleks menjadi tidak stabil. Misalnya pada reaksi pembentukan
iion kompleks [CoL6]2+ dengan L merupakan ligan netral.
Secara
teoritis donasi enam pasangan electron bebas dari enam ligan L pada ion Co2+
menyebabkan pada [CoL6]2+ atom Co memiliki muatan
formal sebesar -4. Seandainya muatan formal sesunguhnya dari atom Co sebesar -4
maka kompleks yang terbentuk dapat bersifat tidak stabil. Pauling (dalam huheey
et.al., 1993: 393) menyatakan bahwa Co dalam [CoL6]2+
tidak akan sampai memliki muatan formal sebesar -4 bagi kestabilan kompleks
yang tidak menguntungkan bagi kestabilan kompleks. Hal ini disebabkan atom
donor yang terdapat pada ligan, misalnya atom O, N dan halogen, merupakan
atomyang keelektronegatifannya besar jika dibandingkan dengan atom pusat.
Perbedaan keeletronegatifan ini menyebabkan pasangan electron ikatan antara
atom pusat dan atom donor lebih tertarik ke ligan, sehingga mengakibatkan
timbulnya muatan persial positif pada atom Co dan muatan persial negative pada
ligan sebagai konsekoensinya muatan formal positif atom pusat berkurang, atau
atom pusat mungkin muatan formalnya menjadi nol(netral) kecendrungan atom pusat
dalam kompleks untuk memiliki muatan formal yang harganya nol atau negative
rendah merupakan petunjuk praktis untuk menerangkan penyebab kstabilan suatu
kompleks, dan disebut dengan prinsip keelektronetralan. Pauling telah melakukan
perhitungan semi kuantitatifberkaitan dengan muatan atom pusat dan kestabilan
suatu kompleks. Beberapa hasilnya diberikan pada tabel 4.
Tabel 4 muatan atom-atom pada bebera kompleks
[Be(H2O)4]2+
|
[Be(H2O)6]2+
|
[Al(H2O)6]3+
|
[Al(NH3)6]3+
|
Be=-0,08
4O=-0,24
8H=2,32
|
Be=-1,12
6O=-0,36
12H=3,84
|
Al=-0,12
6O=-0,36
12H=3,48
|
Al=-1,08
6N=1,20
18H=2,88
|
Total=+2,00
|
Total=+2,00
|
Total=+3,00
|
Total=+3,00
|
Dari
beberapa kommpleks yang diberikan pada tabel 4, [Be(H2O)4]2+
dan [Al(H2O)6]3+ dapat dianggap stabil,
sedangkan [Be(H2O)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+
adalah tidak stabil. Empat molekul air pada [Be(H2O)4]2+
dapat menetralkan muatan 2+ dari berilium, sedangkan enam molekul air pada
[Be(H2O)4]2+ menyebabkan berilium memiliki
muatan formal -2. Kaidah muatan formal menyatakan bahwa suatu spesies dengan
atom-atom memiliki muatan formal nol adalah lebih stabil dibandingkan spesies
yang atom-atomnya memiliki muatan formal dengan harga positif atau negatif.
Berdasarkan kaidah tersebut maka [Be(H2O)4]2+
bersifat stabil sedangkan [Be(H2O)6]2+
bersifat tidak stabil.
Secara
teoritis atom Al pada kompleks[Al(H2O6)6]3+
dan [Al(NH3)6]3+ memiliki muatan formal
sebesar -3. Karena keelektronegatifan atom nitrogen lebih besar dibandingkan
keelektronegatifan atom aluminium maka pasangan electron ikatan lebih kuat
tertarik ke atom oksigen atau atom nitrogen dibandingkan ke atom aluminium, sehingga
muatan formal negative atom aluminium pada dua kompleks di atas berkurang. Karena keelektronegatifan
O > N maka muatan parsial positif yang
timbul pada atom Al yang disebabkan oleh ligan H2O haragnya
lebih tinggi dibandingkan muatan parsial yang disebabkan oleh ligan NH3. Muatan formal atom
Al pada kompleks [Al(H2O)6]3+ lebih mendekati
nol dibandingkan muatan formal Al pada kompleks [Al(NH3)6]3+.
Akibatnya [Al(H2O)6]3+ bersifat stabil
sedangkan [Al(NH3)6]3+ bersifat tidak stabil.
Pada
kompleks yang atom donornya memiliki keelektronegatifan yang rendah, misalnya atom donor karbon pada ligan CO, penstabilan
kompleks berdasarkan prinsip keelektronegatifan yang tidak dapat diterapkan
karena pasangan electron ikatan dapat dianggap
tertarik sama kuat ke atom pusat dan ke atom donor.
Misalnya pada kompleks [Ni(CO)4], secara teoritis muatan formal atom
nikel adalah -4 sehingga [Ni(CO)4] seharusnya bersifat tidak stabil.
Fakta eksperimen menunjukkan bahwa kompleks tersebut bersifat stabil. Sumber
kestabilan tersebut adalah adanya kemampuan dari ligan CO untuk menerima
pasangan elektron dari atom Ni.
Pada
resonansi
di atas, berapa pun besarnya kontribusi struktur kanonis II terhadap hibrida resonansi dari kompleks
[Ni(CO)4], rapatan electron akan bergeser dari atom nikel ke atom
oksigen sehingga mengurangi muatan formal negative dari atom nikel. Pengurangan
muatan formal negative pada atom nikel menyebabkan kompleks [Ni(CO)4] bersifat stabil.
Elektron
yang didonasikan oleh atom nikel ke atom karbon digunakan untuk membentuk
ikatan balik (back bonding ). Ikatan
balik merupakan ikatan π. Ikatan balik ini dapat terjadi karena simetri orbital
d dari atom nikel adalah cocok dengan simetri orbital p dari atom karbon atau
simetri orbital π*. Dari ligan CO. Dengan perkataan lain, ikatan balik ini
dapat terjadi karena tanda fungsi gelombang orbital d dari atom nikel adalah
cocok dengan tanda fungsi gelombang orbital p dari atom karbon atau tanda
fungsi gelombang orbital π*. Dari ligan CO. Berdasarkan teori ikatan valensi
pembentukan ikataan balik melibatkan tumpang tindih antara orbital p dari atom
karbon brdasarkan teori orbital molekul pembentukan ikatan balik melibatkan
tumpang tindih antara orbital d atom nikel dengan orbital π*. Dari ligan CO.
Pembentukan
ikatan balik berdasarkan teori ikatan valensi memerlukan tersedianya orbital p dari atom karbon. Orbital p dapat
disediakan apabila salah satu dari dua ikatan π antara atom karbon dan atom
oksigen putus, sehingga ikatan antara dua atom tersebut digambarkan sbagai
ikatan rangkap dua.
Pembentukan
ikatan balik berdasarkan teori orbital molekul dengan tingkat energy terendah
yang tidak ditempati oleh electron dari karbon monoksida. Diagram orbital
molekul sederhana karbon monoksida. diperoleh bahwa orbital molekul dari karbon
monoksida dengan tingkat energy terendah yang tidak ditempati oleha electron
adalah orbital π2p*.
Berdasarkan
teori orbital molekul pada waktu membntuk ikatan balik ligan CO menggunakan
orbital π2p*. Karena diagram orbital molekul monoksida menunjukkan
orde ikatan CO adalah 3. Maka pada gambar 6.6 (b) ikatan antara atom karbon dan
oksigen digambarkan se bagai ikatan rangkap tiga.
I.
Sifat magnetik senyawa
kompleks
Electron
sebagai partikel yang memiliki massa tertentu pada waktu bergerak akan
menghasilkan momentum linear (P) yang harganya merupakan hasil kali dari massa
dan kecepatan geraknya. Apabila elektron yang digambarkan dengan titik hitam
mengorbit iinti atom pada bidang xy, berlawanan arah dengan putaran jarum jam,
seperti ditunjukkan pada gambar 6.8 (a), pada waktu electron berada pada sumbu
x, ia akan memiliki momentum linear.
Py =m.vy
Dengan P, merupakan momentum linear electron yang arahnya
searah dengan sumbu y, m massa electron dan v, kecepatan gerak electron yang
arahnya sejajar dengan sumbu y.
Apabila
electron pada bidang xy, searah dengan putaran jarum jam, seperti ditunjukkan
pada gambar 6.8(b),pada waktu electron berada pada sumbu x, ia akan memiliki
momentum linear.
P(-y) = m.v(-y)
Dengan P(-y) merupakan
momentum linear electron yang arahnya searah dengan sumbu –y, m massa electron
dan v (-y) kecepatan gerak electron yang arahnya sejajar dengan
sumbu –y.
Di samping momentum linear, pergerakan electron yang
mengorbit inti atom seperti pada gambar 6.8 (a) akan menghasilkan momentum
sudut (Lz) yang searah dengan sumbu z.
Lz
= Py . lx = m . vy . lx
Dengan lx merupakan jarak electron ke inti
atom.pergerakan electron yang mengorbit inti atom seperti pada gambar 6.8 (b)
akan menghasilkan momentum sudut (Lz) yang searah dengan sumbu –z.
Lz = Py . lx
= m . v (-y) . lx
Pergerakan
elektron seperti pada gambar 6.8 (a) dan(b) menghasilkan momentum sudut yang
besarnya sama tetapi berlawanan arah.
Sebagai
Partikel yang bermuatan negative, pada waktu electron mengorbit inti atom
seperti pada gambar 6.8 akan dihasilkan momen magnetic yang arahnya berlawanan
dengan arah momentum sudutnya seperti ditunjukan pada gambar 9.
Apabila dua elektron berpasangan maka satu electron
mengorbit inti atomseperti pada gambar,
sedangkan electron yang lain mengorbit initi atom seperti pada gambar. Momen magnetik yang
dihasilkan adalah sama besar tetapi berlawanan arah. Akibatnya dua ekektron
yang berpasangan ini memiliki momen magnetic total yang harganya nol.
Dalam
atom, selain mengorbit inti atom, elektron juga berotasi di sekitar sumbu
rotasinya, misalnya sumbu z, seperti pada gambar 6.10. Apabila dua elektron berpasangan maka sebuah
elektron melakukan rotasi barlawanan dengan putaran jarum jam, elektron yang
lain melakukan rotasi searah dengan putaran jarum jam. Rotasi yang arah putaran
berlawanan dengan putaran jarum jam akan menghasilkan momen magnetik yang arahnya
kebawah. (gambar 6.10(a)). Sedangkan rotasi yang searah dengan putaran jarum
jam akan menghasilkan momen magnetik yang arahnya ke atas (gambar 6.10b). momen
magnetik yang dihasilkan adalah sama besar tetapi arahnya berlawanan. Akibatnya
dua elektron yang berpasangan ini memiliki momen magnetik total, akibat rotasi
di sekitar sumbu rotasinya, yang harganya nol.
Momen magnetic terukur yang dimiliki oleh suatu kompleks
disebut momen magnetik efektif(µe). momen magnetik yang dimiliki
oleh suatu kompleks merupakan hasil interaksi dari momen magnetik yang
ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron disekitar inti atomnya dengan
momen magnetik yang ditimbulkan akibat rotasi
elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya. Suatu kompleks yang
memiliki momen magnetic efektif yang harganya nol dikatakan bersifat
diamagnetic. Kompleks ini di tolak oleh medan magnetic eksternal. Suatu
kommpleks yang memiliki momen magnetic efektif yang harganya lebih besar dari
nol dikatakan bersifat paramagnetic. Kompleks ini ditarik oleh medan magnetic
eksternal. Dalam eksperiemen besarnya momen magnetic efektif suatu zat dapat
diukur dengan menggunakan neraca magnetic Gouy seperti ditunjukan pada gambar
6.11.
Sampel yang akan di ukur kemagnetannya dimasukan dalam
tabung dan ditentukan beratnya dalam keadaan medan magnet eksternal tidak
bekerja seperti pada gambar 6.11a. Kemudian medan magnet eksternal dihidupkan.
Apabila sampel bersifat paramagnetic maka ia akan ditarik oleh medan magnetic
eksternal sehingga berat sampel seolah-olah bertambah seperti pada gambar
6.11b. Dalam keadaan medan magnetic eksternal bekerja, neraca disetimbangkan
dengan menambahkan berat anak timbangan seperti pada gambar 6.11c. selisih
berat anak timbangan dapat di konversi ke harga momen magnetik yang merupakan
harga momen magnetik efektif sampel. Apabila sempel bersifat diamagnetik maka
ia akan ditolak oleh medan magnetik eksternal sehingga beratnya seolah-olah
berkurang.
Momen magnetik yang di timbulkan akibat rotasi
elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya harganya lebih besar di bandingkan
momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbit elektron-elektron di sekitar inti
atomnya. Kontribusi momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbit
elektron-elektron si sekitar inti atomnya terhadap momen magnetik efektif suatu
kompleks sering kali diabaikan, khususnya untuk kompleks dengan atom pusat
unsur-unsur transisi deret pertama. Momen magnetik yang hanya ditimbilkan
akibat rotasi elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya di sebut momen
magnetik spin(µs). besarnya momen magnetik spin suatu kompleks
tergantung pada banyaknya elektron tidak berpasangan yang terdapat pada atom
pusat suatu kompleks. Harga momen magnetik spin dapat di hitung berdasarkan
persamaan:
µs = [n(n + 2)]1/2
dengan
n merupakan jumlah elektron tak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu
kompleks; harga µs dinyatakan dengan satuan Bohr Magnetons (BM).
Dengan demikian maka apabila elektron-elektron yang ada pada atom pusat suatu kompleks berpasangan semua, momen
magnetik spinnya berharga nol dan kompleks yang bersangkutan dianggap bersifat
diamagnetik. Sebaliknya, apabila pada atom pusat Ti3+ suatu kompleks
ada elektron-elektron yang tidak berpasangan maka momen magnetik spinnya
harganya lebih besar dari nol dan kompleks yang bersangkutan bersifat
paramagnetik. Harga momen magnetik spin suatu kompleks bertambah dengan semakin
banyaknya elektron tak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu
kompleks. Harga momen magnetic efektif dan momen magnetic spin kompleks dengan
atom pusat unsur-unsur
transisi derer perrtama diberikan pada tabel
5
Atom pusat
|
J.ê.pada atom pusat
|
Kompleks dengan
spin tingi
|
Kompleks dengan
spin rendah
|
||||
J.e.t.b.
|
µe(BM)
|
µs(BM)
|
J.e.t.b.
|
µe(BM)
|
µs(BM)
|
||
Ti3+
V4+
V3+
V2+
Cr3+
Mn4+
Cr2+
Mn3+
Mn2+
Fe3+
Fe2+
Co3+
Co2+
Ni3+
Ni2+
Cu2+
|
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
9
|
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
4
4
3
3
2
1
|
1,73
1,68-1,78
2,75-2,85
3,80-3,90
3,70-3,90
3,8-4,0
4,75-4,90
4,90-5,00
5,65-6,10
5,70-6,0
5,10-5,70
_
4,30-5,20
_
2,80-3,50
11,70-2,20
|
1,73
1,73
2,83
3,88
3,88
3,88
4,90
4,90
5,92
5,92
4,90
4,90
3,88
3,88
2,83
1,73
|
_
_
_
_
_
_
2
2
1
1
_
_
1
1
_
_
|
_
_
_
_
_
_
3,20-3,30
3,18
2,0-2,5
_
_
1,8
1,8-2,0
_
_
|
_
_
_
_
_
_
2,83
2,83
1,73
1,73
_
_
1,73
1,73
_
_
|
Keterangan:
J.e = jumlah electron; J.e.t.b = jumlah electron tak berpasangan
Harga
momen magnetik efektif dan momen magnetik spin kompleks dengan atom pusat
unsur-unsur transisi deret pertama diberikan pada tabel 6.5 atas
Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kontribusi momen
magnetik yang ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron di sekitar inti
atomnya terhadap momen magnetik efektif suatu kompleks adalah kecil. Di samping
itu, dapat dilihat bahwa momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbital
elektron-elektron di sekitar inti atomnya dapat memperbesar atau memperkecil
harga momen magnetik efektif suatu kompleks
2.5
Kelemahan
Teori Ikatan Valensi
Sebagaimana
diuraikan di depan bahwa suatu kompleks dapar bersifat paramagnetik atau
diamagnetik. Suatu kompleks bersifat diamagnetik apabila memiliki harga momen
magnetik efektif nol, dan bersifat paramagnetik bila memiliki harga momen
magnetikefektif lebih besar dari nol.
Sampai
sekitar tahun 1943 teori ikatan valensi merupakan satu-satunya teori yang
digunakan oleh para pakar kimia anorganik dalam menerangkan struktur dan
kemagnetan senyawa kompleks. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk
meramalkan kemungkinan struktur dan kemagnetan senyawa-senyawa kompleks yang
belum disintesis. Fakta eksperimen tentang senyawa-senyawa kompleks yang baru
berhasil disintesis ternyata banyak yang cocok dengan ramalan yang didasarkan
atas teori ikatan valensi. Meskipun demikian, teori ini memiliki beberapa
kelemahan, yaitu:
1. Tidak
dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan
temperatur.
2. Tidak
dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3.
Tidak dapat
menjelaskan kestabilan senyawa kompleks.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian materi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :






1. Tidak
dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan
temperatur.
2. Tidak
dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3.
Tidak dapat
menjelaskan kestabilan senyawa kompleks
DAFTAR
PUSTAKA
Brady,
James. 1999 . Kimia Universitas. Binarupa Aksara:Jakarta.
Fessenden
dan Fessenden. 1986. Kimia Ikatan. Erlangga:Jakarta.
Pire,
Stanley. 1988. Kimia Ikatan 1. ITB:Bandung.
Respati.
1987. Pengantar Kimia Ikatan Jilid 3.Aksara Baru: Jakarta
Suminar,
Hart.1990. Kimia Ikatan Suatu Kuliah Singkat. Erlangga:Jakarta.
No comments:
Post a Comment